ALI BIN ABITALIB
(Mekah, 603-Kufah, 17 Ramadan 40/24
Januari 661).
Khalifah
keempat (terakhir) dari al-Khulafa' ar-Rasyidiin (empat khalifah besar);
orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak, sepupu Nabi SAW
yang kemudian menjadi menantunya. Ayahnya, Abu Talib bin Abdul Muttalib
bin Hasyim bin Abd Manaf, adalah kakak kandung ayah Nabi SAW, Abdullah
bin Abdul Muttalib. Ibunya bernama Fatimah binti As'ad bin Hasyim bin
Abd Manaf. Sewaktu lahir ia diberi nama Haidarah oleh ibunya. Nama itu
kemudian diganti ayahnya dengan Ali.
Ketika berusia 6 tahun, ia diambil
sebagai anak asuh oleh Nabi SAW, sebagaimana Nabi SAW pernah diasuh
oleh ayahnya. Pada waktu Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, Ali baru
menginjak usia 8 tahun. la adalah orang kedua yang menerima dakwah
Islam, setelah Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi SAW. Sejak itu ia
selalu bersama Rasulullah SAW, taat kepadanya, dan banyak menyaksikan
Rasulullah SAW menerima wahyu. Sebagai anak asuh Rasulullah SAW, ia
banyak menimba ilmu mengenai rahasia ketuhanan maupun segala persoalan
keagamaan secara teoretis dan praktis.
Sewaktu Nabi SAW hijrah ke Madinah
bersama Abu Bakar as-Siddiq, Ali diperintahkan untuk tetap tinggal di
rumah Rasulullah SAW dan tidur di tempat tidurnya. Ini dimaksudkan untuk
memperdaya kaum Kuraisy, supaya mereka menyangka bahwa Nabi SAW masih
berada di rumahnya. Ketika itu kaum Kuraisy merencanakan untuk membunuh
Nabi SAW. Ali juga ditugaskan untuk mengembalikan sejumlah barang
titipan kepada pemilik masing-masing. Ali mampu melaksanakan tugas yang
penuh resiko itu dengan sebaik-baiknya tanpa sedikit pun merasa takut.
Dengan cara itu Rasulullah SAW dan Abu Bakar selamat meninggalkan kota
Mekah tanpa diketahui oleh kaum Kuraisy.
Setelah mendengar Rasulullah SAW dan Abu
Bakar telah sampai ke Madinah, Ali pun menyusul ke sana. Di Madinah, ia
dikawinkan dengan Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah SAW, yang ketika
itu (2 H) berusia 15 tahun.
Ali menikah dengan 9 wanita dan
mempunyai 19 orang putra-putri. Fatimah adalah istri pertama. Dari
Fatimah, Ali mendapat dua putra dan dua putri, yaitu Hasan, Husein,
Zainab, dan Ummu Kulsum yang kemudian diperistri oleh Umar bin Khattab.
Setelah Fatimah wafat, Ali menikah lagi berturut-turut dengan: 1) Ummu
Bamin binti Huzam dari Bani Amir bin Kilab, yang melahirkan empat putra,
yaitu Abbas, Ja'far, Abdullah, dan Usman; 2) Laila binti Mas'ud
at-Tamimiah, yang melahirkan dua putra, yaitu Abdullah dan Abu Bakar; 3)
Asma binti Umair al-Kuimiah, yang melahirkan dua putra, yaitu Yahya
dan Muhammad; 4) as-Sahba binti Rabi'ah dari Bani Jasym bin Bakar,
seorang janda dari Bani Taglab, yang melahirkan dua anak, Umar dan
Ruqayyah; 5) Umamah binti Abi Ass bin ar-Rabb, putri Zaenab binti
Rasulullah SAW, yang melahirkan satu anak, yaitu Muhammad; 6) Khanlah
binti Ja'far al-Hanafiah, yang melahirkan seorang putra, yaitu Muhammad
(al-Hanafiah); 7) Ummu Sa'id binti Urwah bin Mas'ud, yang melahirkan dua
anak, yaitu Ummu al-Husain dan Ramlah; dan 8) Mahyah binti Imri'
al-Qais al-Kalbiah, yang melahirkan seorang anak bernama Jariah.
Ali dikenal sangat sederhana dan zahid
dalam kehidupan sehari-hari. Tidak tampak perbedaan dalam kehidupan
rumah tangganya antara sebelum dan sesudah diangkat sebagai khalifah.
Kehidupan sederhana itu bukan hanya diterapkan kepada dirinya, melainkan
juga kepada putra-putrinya.
Ali terkenal sebagai panglima perang
yang gagah perkasa. Keberaniannya menggetarkan hati lawan-Iawannya. la
mempunyai sebilah pedang (warisan dari Nabi SAW) bernama "Zul Faqar". la
turut-serta pada hampir semua peperangan yang terjadi di masa Nabi SAW
dan selalu menjadi andalan pada barisan terdepan.
la juga dikenal cerdas dan menguasai
banyak masalah keagamaan secara mendalam, sebagaimana tergambar dari
sabda Nabi SAW, "Aku kota ilmu pengetahuan sedang Ali pintu gerbangnya."
Karena itu, nasihat dan fatwanya selalu didengar para khalifah
sebelumnya. la selalu ditempatkan pada jabatan kadi atau mufti.
Ketika Rasulullah SAW wafat, Ali
menunggui jenazahnya dan mengurus pemakamannya, sementara
sahabat-sahabat lainnya sibuk memikirkan soal pengganti Nabi SAW.
Setelah Abu Bakar terpilih menjadi khalifah pengganti Nabi SAW dalam
mengurus negara dan umat Islam, Ali tidak segera membaiatnya. la baru
membaiatnya beberapa bulan kemudian.
Pada akhir masa pemerintahan Umar bin
Khattab, Ali termasuk salah seorang yang ditunjuk menjadi anggota
Majlis asy-Syura, suatu forum yang membicarakan soal penggantian
khalifah. Forum ini beranggotakan enam orang. Kelima orang lainnya
adalah Usman bin Affan, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'd
bin Abi Waqqas, dan Abdur Rahman bin Auf. Hasil musyawarah menentukan
Usman bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar bin Khattab.
Pada masa pemerintahan Usman bin Affan,
Ali banyak mengeritik kebijaksanaannya yang dinilai terlalu
memperhatikan kepentingan keluarganya (nepotisme). Ali menasihatinya
agar bersikap tegas terhadap kaum kerabatnya yang melakukan
penyelewengan dengan mengatasnamakan dirinya. Namun, semua nasihat itu
tidak diindahkannya. Akibatnya, terjadilah suatu peristiwa berdarah yang
berakhir dengan terbunuhnya Usman.
Kritik Ali terhadap Usman antara lain
menyangkut Ubaidillah bin Umar, yang menurut Ali harus dihukum hadd
(beberapa jenis hukuman dalam fikih) sehubungan dengan pembunuhan yang
dilakukannya terhadap Hurmuzan. Usman juga dinilai keliru ketika ia
tidak melaksanakan hukuman cambuk terhadap Walib bin Uqbah yang
kedapatan mabuk. Cara Usman memberi hukuman kepada Abu Zarrah juga tidak
disetujui Ali.
Usman
meminta bantuan kepada Ali ketika ia sudah dalam keadaan terdesak akibat
protes dan huru-hara yang dilancarkan oleh orang-orang yang tidak
setuju kepadanya. Sebenarnya, ketika rumah Usman dikepung oleh kaum
pemberontak, Ali memerintahkan kedua putranya, Hasan dan Husein, untuk
membela Usman. Akan tetapi karena pemberontak berjumlah besar dan sudah
kalap, Usman tidak dapat diselamatkan.
Segera setelah terbunuhnya Usman, kaum
muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat menjadi khalifah. Mereka
beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut menduduki
kursi khalifah setelah Usman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu,
Ali berkata, "Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang
teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura bersama para pejuang
Perang Badr."
Dalam
suasana yang masih kacau, akhirnya Ali dibaiat. Pembaiatan dimulai oleh
sahabat-sahabat besar, yaitu Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam,
Sa'd bin Abi Waqqas, dan para sahabat lainnya. Mereka diikuti oleh
rakyat banyak. Pembaiatan dilakukan pada tanggal 25 Zulhijah 33 di
Masjid Madinah seperti pembaiatan para khalifah pendahulunya.
Segera setelah dibaiat, Ali mengambil
langkah-langkah politik, yaitu: 1) memecat para pejabat yang diangkat
Usman, termasuk di dalamnya beberapa gubernur, dan menunjuk
penggantinya; 2) mengambil tanah yang telah dibagikan Usman kepada
keluarga dan kaum kerabatnya tanpa alasan yang benar; 3) memberikan
kepada kaum muslimin tunjangan yang diambil dari baitulmal, seperti yang
pernah dilakukan Abu Bakar; pemberian dilakukan secara merata tanpa
membedakan sahabat yang lebih dahulu masuk Islam dan yang masuk
belakangan; 4) mengatur tata laksana pemerintahan untuk mengembalikan
kepentingan umat; dan 5) meninggalkan kota Madinah dan menjadikan Kufah
sebagai pusat pemerintahan.
Masa pemerintahan Ali diwarnai berbagai
pemberontakan. Pemberontakan pertama dilakukan oleh Talhah, Zubair dan
Aisyah binti Abu Bakar. Ketiga orang ini menuntut bela atas kematian
Usman. Menurut mereka, Ali bersalah karena tidak mau menghukum para
pemberontak yang menewaskan Usman, bahkan Ali didukung oleh kaum
pemberontak itu. Untuk melawan Ali, ketiga orang itu meminta bantuan
tentara dari Basra dan Kufah. Di kedua kota ini terdapat banyak
pendukung Usman.
Ada
pendapat, pemberontakan itu dilatarbelakangi oleh keinginan Talhah dan
Zubair untuk merebut jabatan khalifah. Masing-masing mengharapkan rakyat
memilihnya menjadi khalifah, tetapi ternyata Ali yang terpilih.
Sementara itu Aisyah ikut terlibat karena diminta oleh anak angkatnya
yang juga keponakannya sendiri, yaitu Abdullah bin Zubair, yang juga
berambisi menjadi khalifah.
Mendengar rencana Talhah, Zubair, dan
Aisyah, Ali segera mempersiapkan pasukannya dan menyusul mereka ke
Basra. Sesampai di sana Ali tidak segera menyerang, tetapi berupaya
untuk berdamai dengan mereka. Dia mengirim surat kepada Talhah dan
Zubair agar mereka mau berunding, tetapi ajakannya itu menemui kegagalan
dan pertempuran dahsyat tidak dapat dielakkan. Pertempuran itu dikenal
dengan "Perang Jamal (unta)" karena dalam pertempuran itu Aisyah
mengendarai unta. Pertempuran ini berhasil dimenangkan Ali. Zubair dan
Talhah terbunuh. Adapun Aisyah, sebagai penghormatan kepada ummul
mukminin itu, dikirim kembali ke Madinah.
Pemberontakan kedua datang dari kelompok
Mu'awiyah bin Abu Sufyan, kerabat dekat Usman. Di masa Usman, Mu'awiyah
diangkat menjadi gubernur di Damascus. Ketika Ali terpilih menjadi
khalifah, Mu'awiyah tidak membaiatnya; ia menyatakan diri membangkang
dengan alasan menuntut bela atas kematian Usman.
Menghadapi pemberontakan Mu'awiyah, Ali
dan pasukannya segera meninggalkan Kufah menuju Syam (kini Suriah).
Mendengar kedatangan Ali dengan pasukannya, Mu'awiyah dan pasukannya
bersiap-siap menghadang di luar kota. Kedua pasukan itu bertemu di suatu
tempat yang bernama Siffin. Sebelum terjadi pertempuran, Ali menawarkan
penyelesaian damai, tetapi Mu'awiyah meno-lak. Lalu berkobarlah
peperangan.
Setelah peperangan
berlangsung beberapa hari terlihat tanda-tanda kemenangan di pihak Ali.
Pada saat Mu'awiyah dan tentaranya terdesak, penasihat Mu'awiyah yang
dikenal cerdik dan licik, Amr bin As, meminta agar Mu'awiyah
memerintahkan pasukannya mengangkat mushaf Al-Qur'an di ujung
lembing-lembing sebagai isyarat berdamai. Dengan demikian Mu'awiyah
terhindar dari kekalahan total.
Perundingan damai berlangsung pada bulan
Ramadan 34. Setiap pihak menunjuk wakil yang akan menjadi hakim (juru
penengah) dalam perundingan. Dari pihak Mu'awiyah ditunjuk Amr bin As,
sedang dari pihak Ali semula diusulkan Abdullah bin Abbas, tetapi
pilihan Ali itu diprotes oleh sebagian tentaranya, dengan alasan bahwa
ia adalah kerabat Ali, putra pamannya. Akhirnya, dengan berat hati Ali
menyetujui Abu Musa al-Asy'ari.
Kedua hakim itu mempunyai watak dan
sikap yang sangat berbeda. Amr bin As dikenal pandai dalam mempergunakan
siasat dan tipu muslihat, sementara Abu Musa adalah orang yang lurus,
rendah hati, dan mengutamakan kedamaian.
Seusai perundingan, Abu Musa sebagai
yang tertua dipersilahkan untuk berbicara lebih dahulu. Maka, sesuai
dengan kesepakatan sebelumnya antara mereka berdua, Abu Musa menyatakan
pemberhentian Ali dari jabatannya dan menyerahkan urusan penggantiannya
kepada kaum muslimin. Tetapi ketika gilirannya tiba, Amr bin As
menyatakan persetujuannya atas pemberhentian Ali dan menetapkan jabatan
khalifah bagi Mu'awiyah. Amr bin As menyalahi kesepakatan semula yang
dibuatnya bersama Abu Musa, yaitu masing-masing menyetujui
pemberhentian Ali maupun Mu'awiyah, agar tidak terjadi lagi pertumpahan
darah.
Peristiwa ini dikenal
dengan peristiwa "tahkim" (arbitrase). Kelicikan Amr bin As dalam
peristiwa itu merugikan pihak Ali dan sebaliknya menguntungkan pihak
Mu'awiyah. Tetapi keputusan tahkim ini ditolak Ali ia tetap
mempertahankan kedudukan sebagai khalifah sampai terbunuh pada tahun
661.
Pemberontakan ketiga
datang dari Aliran Khawarij, yang semula merupakan bagian dari pasukan
Ali dalam menumpas pemberontakan Mu'awiyah, tetapi kemudian keluar dari
barisan Ali karena tidak setuju atas sikap Ali yang menerima tawaran
berdamai dari pihak Mu'awiyah. Karena mereka keluar dari barisan Ali,
mereka disebut "Khawarij" (orang-orang yang keluar). Jumlah mereka
ribuan orang. Dalam keyakinan mereka, Ali adalah amirulmukminin dan
mereka yang setuju untuk bertahkim telah melanggar ajaran agama. Menurut
mereka, hanya Tuhan yang berhak menentukan hukum, bukan manusia. Oleh
sebab itu, semboyan mereka adalah la hukma illa bi Allah (tidak ada
hukum kecuali bagi Allah). Ali dan sebagian pasukannya dinilai telah
berani membuat keputusan hukum, yaitu berunding dengan lawan.
Kelompok Khawarij menyingkir ke Harurah,
sebuah desa dekat Kufah. Mereka mengangkat pemimpin sendiri, yaitu
Syibis bin Rub'it at-Tamimi sebagai panglima angkatan perang dan
Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi sebagai pemimpin keagamaan. Di Harurah
mereka segera menyusun kekuatan untuk menggempur Ali dan orang-orang
yang menyetujui tahkim, termasuk di dalamnya Mu'awiyah, Amr bin As, dan
Abu Musa al-Asyari. Kegagalan Ali dalam tahkim menambah semangat mereka
untuk mewujudkan maksud mereka.
Posisi Ali menjadi serba sulit. Di satu
pihak, ia ingin menghancurkan Mu'awiyah yang semakin kuat di Syam; di
pihak lain, kekuatan Khawarij akan menjadi sangat berbahaya jika tidak
segera ditumpas. Akhirnya Ali mengambil keputusan untuk menumpas
kekuatan Khawarij terlebih dahulu, baru kemudian menyerang Syam. Tetapi
tercurahnya perhatian Ali untuk menghancurkan kelompok Khawarij
dimanfaatkan Mu'awiyah untuk merebut Mesir.
Pertempuran sengit antara pasukan Ali
dan pasukan Khawarij terjadi di Nahrawan (di sebelah timur Baghdad)
pada tahun 658, dan berakhir dengan kemenangan di pihak Ali. Kelompok
Khawarij berhasil dihancurkan, hanya sebagian kecil yang dapat
meloloskan diri. Pemimpin mereka, Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi, ikut
terbunuh.
Sejak itu, kaum Khawarij
menjadi lebih radikal. Kekalahan di Nahrawan menumbuhkan dendam di hati
mereka. Secara diam-diam kaum Khawarij merencanakan untuk membunuh tiga
orang yang di-anggap sebagai biang keladi perpecahan umat, yaitu Ali,
Mu'awiyah, dan Amr bin As. Pembunuhnya ditetapkan tiga orang, yaitu:
Abdur Rahman bin Muljam ditugaskan membunuh Ali di Kufah, Barak bin
Abdillah at-Tamimi ditugaskan membunuh Mu'awiyah di Syam, dan Amr bin
Bakar at-Tamimi ditugaskan membunuh Amr bin As di Mesir. Hanya Ibnu
Muljam yang berhasil menunaikan tugasnya. la menusuk Ali dengan
pedangnya ketika Ali akan salat subuh di Masjid Kufah. Ali mengembuskan
napas terakhir setelah memegang tampuk pimpinan sebagai khalifah
selama lebih-kurang 4 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar