USMAN BIN AFFAN
(Mekah, 576-Madinah, I 656).
Khalifah ketiga (memerintah 644-656) dan
sahabat yang sangat berjasa pada periode-periode awal pengembangan
Islam, baik pada saat Islam dikembangkan secara sembunyi-sembunyi maupun
secara terbuka. la dijuluki juga dengan Zu an-Nurain (Memiliki Dua
Cahaya) karena ia menikah dengan dua orang putri Nabi Muhammad SAW yang
bernama Ruqayyah dan Ummu Kalsum.
Sebelum masuk Islam, Usman bin Affan
dikenal sebagai pedagang besar dan terpandang. Kekayaannya berlimpah
ruah. la memeluk Islam atas ajakan Abu Bakar as-Siddiq. Setelah memeluk
Islam, dengan penuh kerelaan ia menyerahkan sebagian besar hartanya bagi
kepentingan perjuangan Islam. Budak yang teraniaya oleh tangan kafir
Kuraisy ditebusnya dengan hartanya. Pada saat terjadi Perang Tabuk
melawan Kerajaan Byzantium, Rasulullah SAW sebagai kepala pemerintahan
dan panglima pasukan merasa kekurangan dana dan makanan untuk
mempertahankan diri dari serangan pasukan musuh. Masalah ini dikemukakan
oleh Muhammad SAW ke hadapan para sahabatnya. Hal itu ditanggapi secara
serius oleh para sahabat. Abu Bakar as-Siddiq menyumbangkan hartanya
sejumlah 4.000 dinar, Umar bin Khattab menyumbangkan setengah hartanya,
sementara Usman bin Affan menanggung sepertiga pembiayaan dan dana
perang.
Pengangkatan Usman bin
Affan menjadi khalifah berlangsung secara baik setelah diadakan
musyawarah di antara para sahabat di rumah Abdurrahman bin Auf.
Pelantikannya dilangsungkan pada hari ketiga setelah wafatnya Umar bin
Khattab.
Pemerintahan Usman bin
Affan berlangsung dalam dua periode, yaitu periode 6 tahun pertama dan
periode 6 tahun kedua. Periode 6 tahun pertama ditandai oleh berbagai
keberhasilan dan kejayaan, sedangkan periode 6 tahun kedua ditandai oleh
perpecahan yang tergambar dalam berbagai pergolakan dan pemberontakan
dalam negeri.
Perjalanan
roda pemerintahan tahun-tahun pertama dilaksanakan oleh Usman bin Affan
sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh pendahulunya.
Suatu pesan yang disampaikan Umar bin Khattab kepada Usman adalah bahwa
wali-wali (gubernur) yang diangkat oleh Umar selama jangka waktu setahun
jangan dimutasikan. Pesan ini didasarkan atas kekhawatiran akan
terjadinya kegoncangan dan gangguan stabilitas keamanan dan ketenteraman
bagi Khalifah sendiri.
Berdasarkan pertimbangan yang matang
terhadap pesan Umar bin Khattab, Usman tetap mengukuhkan gubernur untuk
wilayah Mesir, Syam (Suriah), dan Irak yang di dalamnya termasuk
daerah-daerah Azerbaijan, Armenia dan beberapa daerah lain yang berpusat
di kota Kufah, dan Iran yang di dalamnya tercakup daerah Khurasan
dengan Basra sebagai pusat pemerintahannya. Gubernur-gubernur itu adalah
Amr bin As, Mu'awiyah bin Abu Sufyan, dan Abu Musa al-Asyari.
Setelah satu tahun berlalu, pesan yang
disampaikan Umar bin Khattab dipatuhi dan dilaksanakan oleh Khalifah
Usman. Selanjutnya ia pun mengubah kebijaksanaannya dengan memutasikan
hampir semua pejabat yang telah dikukuhkan sebelumnya. Adapun pejabat
baru yang diangkat untuk menggantikan pejabat lama, kecuali yang
tersebut di atas, berasal dari kaum keluarganya, Bani Umayyah.
Kebijaksanaan itu mengantarkan Usman bin Affan ke suatu posisi yang
tidak menguntungkan, baik bagi dirinya maupun bagi kepentingan
pemerintahan Islam.
Pengangkatan
beberapa pejabat yang berasal dari kaum keluarganya telah menimbulkan
reaksi negatif dari masyarakat di beberapa wilayah. Reaksi tersebut tak
dapat dibendung Khalifah dan pemerintahan pusat di Madinah. Satu hal
yang belum pernah terjadi pada masa dua khalifah sebelumnya adalah bahwa
Usman bin Affan lebih banyak dipengaruhi oleh kaum keluarganya,
khususnya Marwan bin Hakam yang diangkatnya sebagai sekretaris negara.
Sejak Usman bin Affan diangkat menjadi
khalifah, banyak pula permasalahan kebijaksanaan perbendaharaan negara
yang muncul. Menurut Usman, khalifah mempunyai wewenang menggunakan
kekayaan umum untuk sesuatu yang dipandang sebagai kemaslahatan umat.
Selama memangku jabatan, khalifah berhak mengurus kepentingan umum kaum
muslimin. Karena itu, khalifah menggunakan kekayaan negara bagi
pemenuhan kepentingan kemaslahatan umum, baik keluarga maupun dirinya
sendiri.
Meskipun demikian, sikap
kedermawanan Usman sebagai seorang saudagar kaya yang suka membantu
orang lain yang dalam kesusahan, tak dapat dihentikannya sewaktu ia
menjabat kepala pemerintahan. Sikap yang demikianlah yang membedakan
Usman dari dua khalifah yang telah mendahuluinya.
Kebijaksanaan khalifah dalam penggunaan
Baitulmal semata-mata didasarkan atas pertimbangan ijtihadnya dan
tanggung jawabnya kepada Allah SWT. Jabatan khalifah menurut suatu
penilaian bukanlah amanat yang diberikan atau dipercayakan oleh orang
banyak, tetapi merupakan amanat yang disampaikan Allah SWT kepada salah
seorang hamba. Karena itu kebijaksanaan yang diambil haruslah sejalan
dengan ketentuan Allah SWT. Disebutkan bahwa pada awal pemerintahan Abu
Bakar as-Siddiq terjadi suatu peperangan yang dilancarkan oleh
orang-orang murtad. Pemberontakan tersebut dapat dipadamkan oleh
Khalifah Abu Bakar. Setelah keamanan dalam negeri benar-benar pulih,
mulailah Islam bergerak ke luar Semenanjung Arabia, dari belahan Afrika
utara sampai ke India. Ke mana saja Islam masuk, di situ pula Al-Qur'an
ditinggalkan. Bahkan yang ditinggalkan itu bukanlah semata-mata tulisan
Al-Qur'an, akan tetapi juga para penghafalnya. Tulisan Al-Qur'an yang
ditinggalkan itu beragam bentuk dan susunan surat-suratnya, bahkan
beragam pula macam bacaan dialeknya. Jika bentuk bacaan dan ragam
susunan Al-Qur'an tetap dipertahankan, maka akan datang malapetaka,
perselisihan, dan perpecahan dalam kehidupan masyarakat muslim.
Orang yang mula-mula menaruh perhatian
terhadap kemungkinan pertikaian yang terjadi di kalangan masyarakat
Islam dalam hal bacaan Al-Qur'an adalah Huzaifah bin Yaman. Keadaan yang
semacam ini segera disampaikan kepada Khalifah Usman agar mendapatkan
penyelesaian. Adapun langkah awal yang diambil oleh Khalifah adalah
meminta kumpulan naskah Al-Qur'an yang disimpan Hafsah binti Umar.
Naskah ini merupakan suatu kumpulan tulisan Al-Qur'an yang berserakan
pada zaman pemerintahan Abu Bakar. Khalifah Usman kemudian membentuk
suatu badan atau panitia pembukuan Al-Qur'an, yang anggotanya terdiri
dari Zaid bin Sabit sebagai ketua panitia dan Abdullah bin Zubair serta
Abdurrahman bin Haris sebagai anggota.
Tugas yang harus dilaksanakan oleh
panitia tersebut adalah membukukan lembaran-lembaran lepas dengan cara
menyalin ulang ayat-ayat Al-Qur'an ke dalam sebuah buku yang disebut mushaf.
Dalam pelaksanaannya, Usman menginstruksikan agar penyalinan tersebut
harus berpedoman kepa yang) bacaan mereka yang menghafalkan Al-Qur'an.
Seandainya terdapat perbedaan dalam pembacaan, maka yang ditulis adalah
yang berdialek Kuraisy, karena Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Kuraisy
(Arab).
Salinan kumpulan
Al-Qur'an yang dikenal dengan nama al-Mushaf itu, oleh panitia
diperbanyak sejumlah lima buah. Sebuah tetap berada di Madinah, dan
empat lainnya dikirimkan ke Mekah, Suriah, Basra, dan Kufah. Semua
naskah Al-Qur'an yang dikirim ke daerah-daerah itu dijadikan sebagai
pedoman dalam penyalinan berikutnya di daerah masing-masing.
Naskah salinan yang ditinggalkan di
Madinah disebut Mushaf al Imam. Adapun naskah yang berbeda dengan
naskah al-Imam dinyatakan tidak berlaku lagi. Perbedaan bacaan
Al-Qur'an masih ditemukan sampai dengan zaman sekarang, apalagi bila
dihubungkan dengan adanya hadis Nabi SAW yang menyatakan bahwa Al-Qur'an
dibaca dalam bentuk tujuh huruf. Hal ini ditolerir, karena
bacaan-bacaan tersebut diriwayatkan secara mutawatir.
Sebagai akibat dari tindakan Usman bin
Affan tersebut, di dalam masyarakat Islam hanya diperkenankan satu
bentuk mushaf Al-Qur'an. Bentuk ini diakui oleh semua golongan yang ada
dalam masyarakat muslim, baik Suni maupun Syiah.
Sejak diangkat sebagai semacam menteri
sekretaris negara yang mengepalai ad-Dawawin (beberapa dewan), pengaruh
Marwan bin Hakam terhadap kebijaksanaan Khalifah makin lama makin besar.
Pada akhirnya dialah yang menjadi motor penggerak dan pemegang
kekuasaan. Sebagai akibat dari kepercayaan besar yang diberikan
Khalifah kepada Marwan, muncullah kebijaksanaan-kebijaksanaan
pemerintahan yang didominasi oleh rasa kekeluargaan. Kenyataan itu
tampak pada pengangkatan keluarga sendiri untuk menduduki jabatan tinggi
di setiap wilayah serta pengawasan yang longgar terhadap sikap hidup
mewah di kalangan para keluarga Marwan bin Hakam dan keluarga Khalifah
sendiri. Hal ini melahirkan jurang pemisah yang dalam antara orang kaya
dan orang miskin dalam masyarakat muslim.
Kebijaksanaan seperti itu melahirkan
berbagai reaksi dalam masyarakat. Pada awalnya reaksi tersebut hanya
dalam bentuk pembicaraan-pembicaraan sekelompok masyarakat yang merasa
tidak puas. Walaupun demikian keadaan ini dari waktu-kewaktu bertambah
besar wujudnya. Akhirnya, reaksi ketidaksenangan terhadap pemerintahan
Usman bin Affan menjadi nyata dan berkobar di setiap daerah.
Adapun reaksi yang bersifat terbuka
bermula di Irak pada tahun 30 H. Reaksi ini ditujukan kepada Panglima
Walid bin Uqbah, gubernur wilayah Irak, Azerbaijan, dan Armenia.
Peristiwa ini diawali oleh dijatuhinya hukuman mati terhadap tiga pemuda
yang membunuh Ibnu Haisuman al-Khuzai. Hukuman mati tersebut telah
mengundang kemarahan Bani Azad, keluarga pemuda yang dihukum, terhadap
Walid bin Uqbah.
Sebagaimana
di Irak, di Madinah juga timbul pergolakan sebagai akibat munculnya
pemberitaan bahwa Khalifah Usman mundur dari kursi pemerintahan dan
akan digantikan oleh Marwan bin Hakam. Berita ini menimbulkan reaksi
dan tanggapan kurang senang dari setiap wilayah, sehingga muncullah
suasana yang tak terkendalikan, kecuali di wilayah Suriah yang
diperintah oleh Mu'awiyah bin Abu Sufyan.
Pada tahun 35 H berangkatlah sekitar 500
orang dari Mesir menuju Mekah dengan dalih menunaikan ibadah haji.
Adapun tujuan yang sebenarnya adalah mengepung pusat pemerintahan dan
memaksa Khalifah untuk melepaskan jabatannya. Beriringan dengan
rombongan tersebut, berangkat pula sebuah gerakan dari Kufah dengan
jumlah anggota yang sama di bawah pimpinan Asham Amiri dan dari Basra
dengan jumlah anggota yang sama pula. Tujuan kedua rombongan ini sama
dengan rombongan Mesir, yakni penyerangan terhadap Khalifah.
Keadaan yang semacam ini memaksa Usman
bin Affan untuk mengambil tindakan keras. Akan tetapi, tindakan Usman
tersebut mendapat perlawanan pula dari pihak pemberontak. Rombongan dari
Mesir mendapat dukungan sebagian masyarakat muslim yang datang dari
Kufah dan Basra.
Tuntutan
pemberontak yang datang dari Mesir di bawah pimpinan Muhammad bin Abu
Bakar as-Siddiq membuat keadaan tidak menentu. Mereka menuntut Khalifah
untuk menyerahkan Marwan bin Hakam atau Khalifah menyatakan diri mundur
dari jabatannya. Satu tuntutan pun tidak mendapat tanggapan dari
Khalifah. Pada hari keempat pengepungan pusat pemerintahan itu,
terjadilah suatu peristiwa dan tragedi yang memilukan di dalam sejarah
Islam. Usman bin Affan terbunuh di tangan pasukan pemberontak yang
datang dari Mesir (al-Gafiki).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar